Jumat, 03 Desember 2010

Antareja


Antareja gagrak Surakarta


Gambar Antareja gagrak Yogyakarta

Anantaraja, atau yang lebih sering disingkat Antareja, adalah salah satu tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam Mahabharata karena merupakan asli ciptaan para pujangga Jawa. Ia merupakan putra sulung Wrekodara atau Bimasena dari keluarga Pandawa.

Dalam pewayangan klasik versi Surakarta, Antareja merupakan nama lain dari Antasena, sedangkan versi Yogyakarta menyebut Antasena sebagai adik lain ibu Antareja, selain Gatutkaca. Sementara itu dalam pewayangan zaman para dalang versi Surakarta umumnya juga mengisahkan Antareja dan Antasena sebagai dua orang tokoh yang berbeda.

Asal-Usul

Antareja adalah putra sulung Bimasena yang lahir dari Nagagini putri Batara Anantaboga, dewa bangsa ular. Perkawinan Bima dan Nagagini terjadi setelah peristiwa kebakaran Balai Sigala-Gala di mana para Korawa mencoba untuk membunuh para Pandawa seolah-olah karena kecelakaan.

Bima kemudian meninggalkan Nagagini dalam keadaan mengandung. Antareja lahir dan dibesarkan oleh Nagagini sampai ketika dewasa ia memutuskan untuk mencari ayah kandungnya. Dengan bekal pusaka Napakawaca pemberian Anantaboga dan Cincin Mustikabumi pemberian Nagagini, Antareja berangkat menuju Kerajaan Amarta.

Di tengah jalan Antareja menemukan mayat seorang wanita yang dimuat dalam perahu tanpa pengemudi. Dengan menggunakan Napakawaca, Antareja menghidupkan wanita tersebut, yang tidak lain adalah Subadra istri Arjuna.

Tiba-tiba muncul Gatutkaca menyerang Antareja. Gatutkaca memang sedang ditugasi untuk mengawasi mayat Subadra demi untuk menangkap pelaku pembunuhan terhadap bibinya itu. Subadra yang telah hidup kembali melerai kedua keponakannya itu dan saling memperkenalkan satu sama lain.

Antareja dan Gatutkaca gembira atas pertemuan tersebut. Kedua putra Bima itu pun bekerja sama dan akhirnya berhasil menangkap pelaku pembunuhan Subadra yang sebenarnya, yaitu Burisrawa.

Kisah kemunculan Antareja untuk pertama kalinya tersebut dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan judul cerita Sumbadra Larung.

Kesaktian

Antareja memiliki Ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Lidahnya sangat sakti, mahluk apapun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulit napakawaca, sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin Mustikabumi, pemberian ibunya, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi maupun tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan di dalam bumi.

Sifat

Anantareja memiliki sifat jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta. Ia menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular di Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda.

Setelah dewasa Anantareja menjadi raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Ia meninggal menjelang perang Bharatayuddha atas perintah Prabu Kresna dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai Tumbal (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam perang Bharatayuddha.

Antareja

Catatan:tokoh ini sering juga digunakan untuk tokoh Danurwenda,anak Antareja yang mengabdi pada Parikesit.

Sabtu, 20 November 2010

Gatotkaca




Raden Gatotkaca adalah putera Raden Wrekudara yang kedua. Ibunya seorang putri raksasa bernama Dewi Arimbi di Pringgandani. Waktu dilahirkan Gatotkaca berupa raksasa, karena sangat saktinya tidak ada senjata yang dapat memotong tali pusatnya. Kemudian tali pusat itu dapat juga dipotong dengan senjata Karna yang bernama Kunta, tetapi sarung senjata itu masuk ke dalam perut Gatotkaca, dan menambah lagi kesaktiannya.
Dengan kehendak dewa-dewa, bayi Gatotkaca itu dimasak seperti bubur dan diisi dengan segala kesaktian; karena. itu Raden Gatotkaca berurat kawat, bertulang besi, berdarah gala-gala, dapat terbang di awan dan duduk di atas awan yang melintang. Kecepatan Gatotkaca pada waktu terbang di awan bagai kilat dan liar bagai halilintar. Kesaktiannya dalam perang, dapat mencabut leher. musuhnya dengan digunakan pada saat yang penting. Gatotkaca diangkat jadi raja di Pringgadani dan ia disebut kesatria di Pringgadani, karena pemerintahan negara dikuasai oleh keturunan dari pihak perempuan. Dalam perang Baratayudha Gatotkaca tewas oleh senjata Kunta yang ditujukan kepada Gatotkaca. Ketika Gatotkaca bersembunyi dalam awan. Gatotkaca jatuh dari angkasa dan mengenai kereta kendaraan Karna hingga hancur lebur. Gatotkaca beristerikan saudara misan, bernama Dewi Pregiwa, puteri Raden Arjuna.


Dalam riwayat, Gatotkaca mati masih sangat muda, hingga sangat disesali oleh sekalian keluarganya.
Menurut kata dalang waktu Raden Gatotkaca akan mengawan, diucapkan seperti berikut :
Tersebutlah, pakaian Raden Gatotkaca yang juga disebut kesatria di Pringgadani: Berjamang mas bersinar-sinar tiga susun, bersunting mas berbentuk bunga kenanga dikarangkan berupa surengpati. (Surengpati berarti berani pada ajalnya. Sunting serupa ini juga dipakai untuk seorang murid waktu menerima ilmu dari gurunya bagi ilmu kematian, untuk lambang bah.wa orang yang menerima ilmu itu takkan takut pada kematiannya). Bergelung (sanggul) bentuk supit urang tersangga oleh praba, berkancing sanggul mas tua bentuk garuda membelakang dan bertali ulur-ulur bentuk naga terukir, berpontoh nagaraja, bergelang kana (gelang empat segi). Berkain (kampuh) sutera jingga, dibatik dengan lukisan seisi hutan, berikat-pinggang cindai hijau, becelana cindai biru, berkeroncong suasa bentuk nagaraja, uncal diberi emas anting.


Diceritakan, Raden Gatotkaca waktu akan berjalan ia berterumpah Padakacarma, yang membuatnya dapat terbang tanpa sayap. Bersongkok Basunanda, walaupun pada waktu panas terik takkan kena panas, bila hujan tak kena air hujan. Diceritakan Raden Gatotkaca menyingsingkan kain bertaliwanda, ialah kain itu dibelitkan pada badan bagian belakang Raden Gatotkaca segera menepuk bahu dan menolakkan kakinya kebumi, terasa bumi itu mengeram di bawah kakinya. Mengawanlah ia keangkasa.
Wayang itu diujudkan sebagai terbang, ialah dijalan kain, dari kanan ke kiri, dibagian kelir atas beberapa kali lalu dicacakkan, ibarat berhenti di atas awan, dan dalang bercerita pula, Tersebutlah Raden Gatotkaca telah mengawan, setiba di angkasa terasa sebagai menginjak daratan, menyelam di awan biru, mengisah awan di hadapannya dan tertutuplah oleh awan di belakangnya, samar samar tertampak ia di pandangan orang. Sinar pakaian Gatotkaca yang kena sinar matahari sebagai kilat memburunya. Maka berhentilah kesatria Pringgadani di awan melintang, menghadap pada awan yang lain dengan melihat ke kanan dan ke kiri. Setelah hening pemandangan Gatotkaca, turunlah ia dari angkasa menuju ke bumi,
Adipati Karna waktu perang Baratayudha berperang tanding melawan Gatotkaca. Karna melepaskan senjata kunta Wijayadanu, kenalah Gatotkaca dengan senjata itu pada pusatnya. Setelah Gatotkaca kena panah itu jatuhlah Gatotkaca dari angkasa,, menjatuhi kereta kendaraan Karna, hingga hancur lebur kereta itu.
Tersebut dalam cerita, Raden Gatotkaca seorang kesatria yang tak pernah bersolek, hanya berpakaian bersahaja, jauh dari pada wanita. Tetapi setelah Gatotkaca melihat puteri Raden Arjuna, Dewi Pregiwa, waktu diiring oleh Raden Angkawijaya, Raden Gatotkaca jatuh hati lantaran melihat puteri itu berhias serba bersahaja. Berubah tingkah Raden. Gatotkaca ini diketahui oleh ibunya (Dewi Arimbi) dengan sukacita dan menuruti segala permintaan Raden Gatotkaca. Kemudian puteri ini diperisteri Raden Gatotkaca.

Senin, 08 November 2010

RADEN BRATASENA




Tokoh Pandhawa adalah salah satu kelompok tokoh cerita pewayangan yang digemari masyarakat Jawa. Lebih-lebih dalam kaitannya dengan tokoh-tokoh Korawa. Masyarakat Jawa, terutama dalang dan para penulis cerita mengangkat tokoh Pandhawa sebagai tokoh yang baik. Masing-masing tokoh mempunyai kelebihan, kehebatan yang luar biasa. Demikian hebat dan berlebihan tentang tokoh itu, sehingga kedudukan masing-masing tokoh dianggap sebagai tokoh ideal. Berikut ini beberapa pengamatan melalui beberapa sumber cerita yang melibatkan tokoh-Bima

Dalam cerita kelahiran Pandhawa yang bersumber pada kitab Mahabharata pada bagian yang disebut Adiparwa, anak Pandhu yang ke dua lahir dari Kunthi bernama Bimasena, keturunan Sang Hyang Bayu atau Sang Hyang Prabanjana (Adiparwa, 1906: 121) Dalam kitab Adiparwa itu nama Bimasena lebih banyak disebut dengan nama Bima. Dalam kitab Wirataparwa juga ada sebutan Bhimasena (Wirataparwa, 1912: 11) Dalam kitab Bharatayudha karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh Bima mendapat sebutan Bhima (Bharatayudha XVII. 6) Pawanasuta (Bharatayudha XVIII. 4), Wrkodara (Nawaruci, 1934: 45) Ketika Pandhawa mengabdi ke negara Wiratha, Bima berganti nama Ballawa (Wirathaparwa, 1912: 11).

Dalam cerita Jawa baru nama Bima kebanyakan mengikuti nama yang disebut dalam cerita Jawa kuna. Yaitu Bima dan Arya Bima (Bimasuci: IX. 6), Sena dan Arya Sena (Bimasuci III. 13), Wrekudara (Bimasuci: 1. 2), Raden Wrekodara (Bimasuci, 1937: 92), Pawanasuta (Bimasuci IV. 10), Werkudara dan Werkodara (Mayer, 1924: 48, 234) Nama Bratasena atau Arya Sena pemberian Bathara Narada atas perintah Bathara Guru, dan dimuat dalam cerita Bima Bungkus (Mangkunagara VII Jilid V, 1930: 24), setelah bungkus bayi dipecah oleh Gajah Sena.
Ketika Bima lahir terdengar suara dari angkasa yang menerangkan, bahwa bayi itu kelak mahasakti dan luar biasa. Sejak kanak-kanak Bima diberi makanan beracun oleh Korawa. Makanan dimakan, tetapi Bima tidak mati. (Adiparwa, 1906: 120-125)

Cerita Bima beristeri Hidimbi dimuat dalam kitab Adiparwa, kemudian beranak Gathotkaca (Adiparwa, 1906: 145) Dalam cerita Jawa baru dimuat dalam cerita lakon berjudul Lairipun Gathotkaca (Mangkunagara VII Jilid X, 1932: 19). Isteri Bima yang semula bernama Hidimbi menjadi Arimbi.
Bima juga beristeri Nagagini anak Anantaboga di pertapaan Saptapratala, kemudian beranak Antasena atau Anantasena (Mangkunagara VII Jilid X, 1932: 14) sumber lain menceritakan, pekawinan BIma dengan Nagagini anak Hyang Anantaboga melahirkan anak Antareja. Sedangkan Antasena adalah anak dari hasil perkawinan Bima dengan Dewi Urangayu (Padmosukotjo, 1954: 90)

Pada umumnya Bima atau Wrekodara dilukiskan sebagai tokoh sakti, kuat, teguh pendiriannya dan sukar ditaklukkan keinginnannya. Dalam cerita Nawaruci, Bima membunuh dua naga jantan betina di sumur Dorangga, yang kemudian naga itu berubah menjadi dewa Sarasanbaddha dan bidadari Harsanadi (Nawaruci, 1934: 28).

Selanjutnya Bima juga membunuh raksasa bernama Indrabahu di tegal Andawana. Raksasa itu ternyata dewa Indra (Nawaruci, 1934: 32). Dalam cerita Dewaruci gubahan Raden Ngabehi Yasadipura I, Bima membunuh raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang bertempat di goa Candramuka. Setelah dibunuh dua raksasa itu menjadi dewa Indra dan dewa Bayu (Dewaruci: II. 17-21). Cerita pembunuhan dua raksasa itu sama dengan cerita Bimasuci karangan Dr.M. Prijohoetomo dalam kumpulan karangannya yang berjudul Javaansch Leesboek (Amsterdam, 1937).

Dalam cerita perang Bharatayudha, Bima membunuh Dussasana (Dursasana) dengan kukunya (Bharatayudha: XIX. 14) dan membunuh Duryodana dengan memukulkan gadanya (Bharatayudha: XL VIII. 2)

Kesaktian Bima didukung oleh senjata yang terkenal dengan nama Gada Rujak Polo dan pemilikan beberapa ilmu. Aji atau ilmunya bernama Wungkal Bener, Bandung Bandhawasa dan Jayasangara (Hardjawiraga, 1982: 173). Raden Ngabehi Yasadipura I menyebut aji terakhir itu dengan nama Jayasangsara (Dewaruci: IV. 3)

Dalam cerita Senaroda, Bima mengangkat diri menjadi bagawan bergelar Bagawan Senaroda, mengajarkan ilmu baru tentang Ilmu Kesempurnaan Sejati (Suwandi, 1923: 35)

Dalam beberapa lakon yang melibatkan tokoh Pandhawa, Bima kerap kali diangkat sebagai tokoh pemusnah musuh yang menyerang negara Ngamarta, Dwarawati dan Wiratha.